Sumenep Kota Keris ?
Bagi kalian yang Domisili Madura pasti tidak asing dengan Kabupaten Sumenep, Yaps bener, Sumenep merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Ujung Timur Pulau Madura.
Kabupaten ini juga terkenal dengan wilayah yang unik karena terdiri wilayah daratan dengan pulau yang tersebar berjumlah 126 pulau, jumlah pulau berpenghuni di Kabupaten Sumenep hanya 48 pulau atau 38%, sedangkan pulau yang tidak berpenghuni sebanyak 78 pulau atau 62%.
Sumenep didirikan pada 31 Oktober 1269, Pada Era Kerajaan Singhasari, daerah Sumenep dipimpin oleh seorang Adipati yang juga menjadi dalang pembangunan Kerajaan Majapahit, yaitu Arya Wiraraja. Dituliskan dalam berbagai kitab dan prasasti, salah satunya dalam kitab pararaton, bahwa Arya Wiraraja tidak dipercaya lagi oleh Raja Wisnuwardhana dan dinohaken (dijauhkan) ke Sumenep, Madura timur tepat pada tanggal 31 Oktober 1269 Masehi (Sumber Kitab Pararaton).
Saat ini Sumenep berkembang pesat, salah satunya dengan adanya Bandar Udara yang terletak di Sumenep, satu-satunya lho di Madura, disamping itu Sumenep juga dikenal dengan Kota Keris, yups Kota Keris Katanya ?
Setidaknya, dalam tradisi lisan, keris hadir di Sumenep sebelum abad ke-15 masehi, tepatnya pada abad ke 14 masehi, bersamaan dengan bangkitnya kerajaan Majapahit, pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389 masehi.
Kabupaten Sumenep mendeklarasikan diri sebagai Kota Keris, berkat semangat para empu keris di Desa Aeng Tongtong, kampungnya kini dinobatkan sebagai Desa Wisata Keris oleh Pemerintah Kabupaten Sumenep sejak Maret 2018.
Pendeklarasian tersebut didasari beberapa hal, di antaranya terdapat 470 empu keris di Sumenep yang jumlahnya mengalahkan Yogyakarta yang masih 15 empu. Kemudian pusaka nusantara yang dihasilkan ini diakui United Nation Education, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Pada Tahun 2005, UNESCO mengakui keris karya empu Sumenep sebagai warisan budaya nusantara. Berselang tujuh tahun berikutnya, pada 2012, UNESCO kembali mengakui Sumenep, dengan penobatan sebagai jumlah empu alias pembuat keris terbanyak di Asia Tenggara.
Namun yang sangat disayangkan Ikon Kota Keris di Sumenep masih kurang maksimal, beberapa point diantaranya :
1. Tidak adanya galeri Keris yang terletak di Pusat Kota Sumenepnya
2. Penjual keris malah banyak menempati lapak beralaskan tikar atau karung yang terletak di Pasar Sapi ataupun Pasar-Pasar Tradisional Lainnya
3. Empu keris kesulitan mencari pasar, tidak adanya pembinaan dari Pemerintah terkait bagaimana cara memasarkan Keris tersebut.
4. Regulasi hukum terkait Keris masih rancu.
Dari permasalahan diatas diharapakan adanya Galeri Keris yang terletak di Pusat Kota, tentunya diprakarsai oleh Pemerintah, diatas salah satu ilustrasi bagaimana Pemprov Jogja memfalisitasi para Empu ataupun Penjual Keris, dimana di setiap sudut Kota pasti terdapat Galeri Keris ataupun Lapak Penjual Keris yang mudah dijangkau oleh wisatawan.
Pengalaman pribadi saya, pernah mengantar teman dari luar daerah, yang penasarasan sama Keris Sumenep, mau tidak mau harus mengantar ke Pusat Pengrajin Keris yang terletak di Desa Aeng Tongtong, Saronggi, dimana tempat tersebut masih harus menempuh 40 menitan dari Pusat Kota Sumenep.
Kemudian hukum terkait keris juga masih sangat rancu, dimana Keris masih dikategorikan sebagai barang senjata tajam dan empu keris di Sumenep berkali-kali kena pidana dengan jeratan di pasal UU Darurat 12/1951, hal ini menjadi bumerang sendiri bagi empu, dimana empu sering kali transaksi Keris tidak di tempat saja, sering kali harus membawa ke Ibu Kota Provinsi (Red: Surabaya) ataupun sering juga membawa ke Ibu Kota Negara Indonesia (Red: Jakarta). Sebenarnya berbicara secara hukum, perbuatan yang diklasifikasikan sebagai perbuatan tindak pidana harus memenuhi dua syarat. Pertama, merupakan jenis perbuatan yang dilarang menurut UU Pidana. Kedua, harus ada akibat perbuatannya, dimana harus ada hubungan kausalitasnya baru ditetapkan sebagai UU Pidana, ini menjadi momok bagi para empu, terutama empu-empu yang belum melek tentang hukum, kami harap kedepan pemerintah melakukan judicial review untuk pasal 2 ayat (1) UU Darurat No 12/1951, karena pasal tersebut bisa menjadi ancaman serius bagi kelestarian Tosan Aji Nusantara.